Editor : Vona Tarigan | Indokom News
PEKANBARU | Niatnya cuma iseng, ujung-ujungnya tekor miliaran rupiah. Begitulah nasib seorang pengusaha kelapa sawit berinisial MT, warga Riau, yang harus menelan pil pahit setelah tergoda video call seks (VCS) dengan seorang perempuan cantik yang baru dikenalnya.
Awalnya semua terasa biasa saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa perkenalan MT dengan perempuan bernama Sisilia Hendriani ini bakal mengantarkannya ke jurang pemerasan digital.
Kisah mereka dimulai jauh sebelum drama ini mencuat ke publik — tepatnya pada tahun 2019. MT dan Sisilia bertemu secara tidak sengaja di sebuah tempat hiburan malam di Pekanbaru.
Sisilia tampil memesona malam itu. Wajahnya lembut, gayanya santai, senyumnya manis. MT yang datang untuk bersantai sejenak, rupanya tak sanggup menahan pesona perempuan muda tersebut.
Mereka sempat berbincang ringan malam itu. Hanya obrolan biasa antara tamu dan “penghibur suasana”. Tapi dari situ, ada percikan kecil yang berlanjut setelah mereka saling bertukar akun Instagram.
Komunikasi mereka makin intens lewat DM Instagram, kemudian pindah ke WhatsApp. MT yang sudah berkeluarga rupanya mulai terbawa suasana. Sisilia juga tidak menolak, seolah tahu cara menjaga atensi pria mapan.
Hubungan itu berjalan santai, tidak terlalu intens, kadang hilang kontak berbulan-bulan. Hingga akhirnya, pada Agustus 2023, semuanya berubah drastis.
MT, entah karena bosan atau rindu obrolan lama, tiba-tiba menghubungi Sisilia kembali. Obrolan awalnya ringan, tapi lama-lama mengarah ke topik yang lebih... pribadi.
Hingga akhirnya, MT menawarkan uang Rp1 juta agar Sisilia mau melakukan video call seks (VCS). Sebuah tawaran yang awalnya ditolak oleh Sisilia.
Tapi dunia digital memang penuh jebakan. Sisilia akhirnya menyetujui ajakan itu — namun dengan niat tersembunyi. Ia diam-diam menekan tombol screenshot saat momen “panas” itu berlangsung.
Momen itu menjadi titik awal malapetaka. Beberapa hari kemudian, MT menerima pesan WhatsApp dari nomor yang sama. Pesan pendek tapi bikin lutut lemas:
“Kau kirim uang, kalau tidak kusebarkan foto kau.”
MT panik. Wajahnya pucat. Ia sadar bahwa jika foto itu tersebar, bukan hanya reputasinya yang hancur, tapi juga rumah tangganya bisa berantakan.
Tanpa berpikir panjang, MT langsung mentransfer uang Rp10 juta ke rekening atas nama Mhd Rafi, yang belakangan diketahui sebagai rekening milik kekasih Sisilia, Syamsul Zekri (34).
Setelah transfer pertama, MT berharap semuanya selesai. Tapi ternyata tidak. Sekali dimulai, ancaman itu datang terus, berulang, dengan pola yang sama.
“Kirim lagi. Kalau tidak, aku sebar ke istrimu,” begitu kira-kira bunyi pesan ancaman berikutnya.
MT yang sudah ketakutan, memilih diam dan terus menuruti permintaan. Ia berpikir, lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan muka di hadapan keluarga dan kolega bisnisnya.
Dalam dua tahun berikutnya — dari Agustus 2023 hingga Agustus 2025 — MT terus dikuras perlahan. Transfer demi transfer dilakukan tanpa putus. Nilainya tidak besar di awal, tapi lama-lama membengkak hingga total Rp1,6 miliar.
Sementara itu, di balik layar, Sisilia dan kekasihnya hidup nyaman dari uang hasil pemerasan itu. Mereka membeli barang-barang mewah, nongkrong di kafe, dan berpenampilan seperti pasangan sukses.
Tapi sebaik-baiknya bangkai disembunyikan, akhirnya bau juga. MT mulai merasa tidak tahan dengan tekanan mental dan kehilangan besar yang dialaminya.
Ia akhirnya memberanikan diri melapor ke Subdit Siber Ditreskrimsus Polda Riau pada 3 Agustus 2025.
Tim siber langsung menelusuri jejak digital ancaman itu. Dari percakapan, rekening, dan data ponsel, jejak Sisilia dan Syamsul perlahan terkuak.
Setelah dua minggu penyelidikan, tim bergerak ke dua lokasi berbeda. Sisilia ditangkap di kosnya di Jalan Surya, Pekanbaru.
Sementara kekasihnya, Syamsul, diringkus di Perumahan Bumi Garuda Sakti tanpa perlawanan.
(23) Dalam penggeledahan, polisi menemukan dua mobil Honda Brio, satu motor Scoopy, kalung emas 10 gram, dan dua ponsel iPhone 14 Pro Max — semua diduga dibeli dari hasil pemerasan.
“Sisilia berperan sebagai pengatur komunikasi dan penerima dana. Sedangkan Syamsul yang menyediakan rekening dan ikut menikmati hasil,” ujar Kombes Ade Kuncoro Ridwan, Direktur Krimsus Polda Riau.
Ade menegaskan, keduanya dijerat dengan Pasal 27B Ayat (2) Jo Pasal 45 Ayat (10) UU ITE, serta pasal pemerasan dan pengancaman dalam KUHP. Hukuman maksimal bisa mencapai 12 tahun penjara.
Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana kejahatan digital semakin licik dan terencana. Modus VCS disertai ancaman penyebaran konten intim kini banyak memakan korban, terutama dari kalangan pria mapan.
Banyak korban enggan melapor karena takut malu. Padahal, menurut polisi, membiarkan pelaku terus memeras justru memperparah kerugian dan memperkuat jaringan mereka.
Dalam kasus MT, keberanian melapor menjadi langkah penting. Polisi menyebut pengungkapan ini akan menjadi peringatan keras bagi pelaku pemerasan digital di Riau dan daerah lain.
Sementara MT kini bisa bernapas lega — meski kehilangan uang miliaran, setidaknya rahasianya tak jadi aib publik. Ia juga disebut telah mendapatkan pendampingan psikologis setelah kasus ini ditangani.
Dari peristiwa ini, satu pelajaran penting bisa diambil: di era digital, godaan bisa datang lewat layar, tapi kehancuran juga bisa dimulai dari sana. Jadi, hati-hati — karena tak semua panggilan video berujung cinta, sebagian malah berujung di balik jeruji besi.**